5 Pertanyaan Cobra Versus Covid-19 Untuk Iksaka Banu

- June 4, 2020 -

Oleh: Prima Rusdi
Foto: Richard Oh

IKSAKA BANU, punya ketertarikan pada sejarah kolonial yang diyakininya sebagai periode yang kerap disalahartikan dalam konteks penulisan sejarah Indonesia. Padahal, Banu berargumen historiografi kolonial itu tak hanya penting tapi juga punya kedudukan sejajar dengan historiografi tradisional yang mengulas raja-raja Nusantara kuno, dan historiografi nasional yang ditulis setelah Indonesia merdeka. Lagipula, sejarah memang tidak bisa dihapus. Banu kerap mengulang niatnya untuk menghapus dimensi kebencian pada percakapan terkait kolonialisme Belanda di tanah air. Iksaka Banu sudah pernah dua kali menerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa. Yang pertama pada 2014 untuk kategori prosa dan diberikan untuk kumpulan cerita pendek bertema sejarah kolonial, Semua untuk Hindia. Yang kedua, pada 2019 untuk kategori prosa, atas bukunya Teh dan Pengkhianat. Selain menulis, yang sudah ditekuninya sejak kanak-kanak, Banu juga telah lama berprofesi sebagai desainer grafis/penata artistik dan pernah memenangkan sejumlah penghargaan untuk iklan yang dibuatnya. Sila ikuti 5 Pertanyaan Cobra Versus Covid-19 untuk Iksaka Banu kali ini.

1.Adakah karakteristik umum dari bangsa/sosok yang pernah terjajah? Bisa disebutkan beberapa?

Karakteristik umum, kadang memang bisa disimpulkan, walau tidak selamanya mutlak. Tergantung bagaimana pertukaran sosial di antara keduanya berlangsung. Misalnya:
Bangsa terjajah umumnya merasa lebih inferior. Dan sembari menanam kebencian, pada saat yang sama biasanya mereka menganggap si penjajah sebagai patron. Bahkan, melalui pemaksaan maupun peresapan menahun, si terjajah bisa mewarisi beberapa sifat, budaya, pengetahuan, dan perilaku sang penjajah.

Bila terlalu lama dijajah, dan berkali-kali mengalami kekalahan dalam upaya pemberontakan, umumnya si terjajah menjadi kehilangan daya resistensi, dan menjadi banyak menggantungkan nasib kepada penjajah. Sehingga mereka menjadi gagap setelah merdeka, atau diberi kemerdekaan.

Tentu ada pengecualian. Misalnya, walau berada di bawah kuasa Islam yang dipelopori oleh Dinasti Ummayah selama 7 abad, Spanyol berhasil melepaskan diri, bangkit, mandiri, dan nyaris melupakan budaya penguasanya. Demikian pula Belanda, setelah melepaskan diri dari Spanyol, hampir tidak banyak menyerap budaya penjajahnya, bahkan di Hindia, mereka bisa menyapu habis hegemoni Spanyol dan Portugis dalam perdagangan pala.

2.Semasa Hindia Belanda, kita sudah beberapa kali terhantam wabah (Kolera dan pes pada abad ke-18 dan ke-19, lalu flu Spanyol pada awal abad ke-20). Konon penanganan pemerintah kolonial selalu terlambat. Pandemi Covid-19 menyerang RI dalam status sebagai negara merdeka, namun penanganan belum bisa disebut lebih baik. Apa yang bisa dilihat dari hal ini? Tidak mau belajar dari sejarah? Atau ada sebab lain?

Kemungkinan besar karena kita memang tidak punya sejarah penanganan wabah. Saat terjadi wabah pes dan cacar, status kita masih negara terjajah, sehingga yang bergerak menangani wabah bukan kita, melainkan para kolonialis. Ketika polio dan campak menyerang, Indonesia sudah merdeka, dan banyak terpapar. Namun waktu itu sudah ada vaksin, dan efeknya tidak separah Covid atau Flu Spanyol.

3. Apa dampak terburuk yang ditinggalkan oleh kolonialisme? Apakah ada yang masih ‘tersisa’ dari periode penjajahan (terutama Belanda) yang masih bisa terlihat?

Dampak terburuk yang bisa terjadi mungkin ada beberapa. Pertama, terjadinya pewarisan kebencian yang mendalam. Sehingga tercipta suatu pandangan hitam-putih dari negara terjajah terhadap yang menjajah, yang sulit diperbaiki. Misalnya, hingga hari ini kita masih melihat bahwa semua orang Belanda pada masa kolonialisme, tanpa pandang bulu, dianggap jahat. Dan bahwa semua petilasan kolonial yang mengingatkan kita pada masa itu, enggan dijaga sebagai warisan sejarah. Padahal kita harus ingat, bahwa seburuk apapun zaman penjajahan, dari segi historiografi tidak bisa dihapus, atau dilompati. Masa lalu, masa kini, dan masa depan suatu negara dan bangsa, berjalan simultan. Saling mempengaruhi.

Saya selalu mengatakan dalam beberapa diskusi, bahwa bila kita menganggap semua orang Belanda jahat, maka kita harus siap menerima anggapan yang sama dari orang Timor Leste, bahwa semua orang Indonesia, tanpa kecuali, adalah manusia jahat karena pernah menduduki negeri mereka. Padahal, banyak juga orang Indonesia yang tulus menyediakan diri menjadi guru (dengan bayaran tidak memadai), atau menjadi tukang tambal ban, montir, atau pedagang, di Timor Timur semasa masih menjadi bagian Republik Indonesia dahulu, tanpa mengganggu penduduk asli. Sama seperti orang-orang Belanda marginal, tukang besi, tukang kuda, pedagang, dan guru, yang juga tidak pernah menindas warga bumiputera Hindia di masa kolonial dahulu.

Kedua, ada pula stigmasisasi lain berdasarkan ras atau agama. Misalnya, ada stigma tertentu pada suku tertentu di Nusantara, karena di masa kolonial mereka terlihat begitu akrab dengan penjajah. Bahkan kerap menjadi perpanjangan tangan penjajah. Lebih celaka lagi, stigma itu dikaitkan pula dengan persamaan agama mereka dengan agama penjajah.

Ketiga, bila terjadi kekacauan program pembangunan, atau kegagalan politik, atau bila terjadi kerusuhan besar, maka dengan cepat si bangsa terjajah menemukan kambing hitam untuk dipersalahkan. “Kita terlalu lama dijajah Belanda, sehingga kita mewarisi sifat buruk mereka. Adu domba, dan koruptif,” demikian pernyataan yang sering kita lihat di media sosial sebagai upaya mengelak dari kesalahan dan tanggung jawab.

4.Korban tewas akibat pandemi influenza, jumlahnya jauh di atas korban tewas akibat Perang Dunia Pertama, kenapa karya seni dalam beragam bentuk cenderung lebih banyak lahir dari fase perang dan bukan pagebluk?

Pertanyaan bagus, walau sebetulnya cukup banyak pula karya seni yang lahir dari pagebluk. Karena biasanya pagebluk disejajarkan juga dengan kesengsaraan akibat ulah politik dan perang. Misalnya, kita ingat Albert Camus pernah menulis ‘Sampar’, tentang ketidakberdayaan warga terhadap penyakit pes yang menyerang kota Oran semasa pendudukan Nazi di Prancis.
Demikian pula naskah ‘Decameron’, karya Giovanni Boccaccio, yang juga berlatar penyakit pes.
Dalam seni lukis, terutama abad pertengahan Eropa, cukup banyak pula yang merekam wabah pes (black death). Mulai ‘Triumph of Death’ dari Pieter Bruegel, hingga ‘Plague’ karya pelukis Arnold Bocklin. Tetapi memang karya-karya itu tidak banyak disorot dan dibicarakan sedahsyat lukisan derita akibat perang. Mungkin karena wabah tidak bisa dilihat secara kasat mata. Beda dengan musuh perang, yang membunuh dan menghancurkan suatu negara.

5.Malang pernah menjadi pusat pandemi pes antara 1900-1935 namun hal ini tak banyak diketahui/ditemukan dalam catatan sejarah. Menurut Anda, bagaimana kecenderungan masyarakat kita melihat wabah/’penyakit’? Apakah sekedar sebagai sesuatu yang setelah berlalu tidak perlu diingat/dipelajari lagi?

Malang memang pernah dilanda pes. Sementara Bali juga pernah dihantam cacar ganas (variola).
Bila kita baca sejarah, tampaknya masyarakat kita saat itu, mungkin karena keterbatasan ilmu, cenderung menganggap wabah sebagai upaya ‘pemurnian’ dari Yang Kuasa, sehingga menerimanya dengan tabah, dengan asumsi bahwa pada suatu titik, hukuman itu akan dianggap cukup oleh-Nya, dan akan hilang dengan sendirinya. Dari catatan tentang kedua wabah itu, ditambah wabah beri-beri pada abad 18, yang tampak jungkir balik ketakutan dan berusaha melawan dengan sains, adalah Pemerintah Kolonial Belanda.
Walau demikian, ada pula anak bangsa yang tampil menjadi tokoh medis dengan peran besar dalam mengatasi wabah pes di Malang, yaitu Dokter Cipto Mangunkusumo.

*silakan membaca artikel 5 Pertanyaan Cobra Versus Covid-19 sebelumnya bersama:
Irma Hidayana
Dave Lumenta