Beyond Pottery: Entangle/Unravel
- October 9, 2022 -
Karya-karya Tisa Granicia dan Fauzy Prasetya Kamal dalam pameran ini merupakan anomali dalam seni rupa kontemporer Indonesia, karya-karya mereka adalah karya-karya obyek yang masuk dalam kategori keramik seni berbasis pottery. Keramik seni[i] tidak populer dalam seni rupa kontemporer Indonesia, terlebih yang berbasis pottery—berbentuk wadah. Dalam pendidikan tinggi seni rupa di Indonesia, keramik dimasukkan sebagai kategori kriya. Masalahnya kategori kriya merupakan kategori yang terlalu lebar, beragam dan tidak jelas, kadang masuk di dalamnya barang-barang kerajinan tangan, baik sentra tradisi maupun home industri. Kadang bercampur antara barang pakai dan barang dekoratif. Kalaupun kriya kontemporer, yaitu kategori kriya dengan intensi seni, maka makna kriya—dalam hal ini, maksudnya ketrampilan manual—juga menjadi perkara tidak penting.
Bukankah banyak medium dan kategori seni rupa kontemporer yang juga membutuhkan keterampilan, tidak harus diletakkan dalam kategori kriya? Lukisan dan patung realis, misalnya. Keterampilan menangani material dan medium bisa diarahkan untuk keperluan apapun, untuk barang-barang guna praktis, seperti piranti makan-minum, atau untuk barang hiasan, maupun semata-mata sebagai karya seni.
Di Barat, craft—padanan istilah kriya—merupakan kategori yang juga lebar melingkupi baik barang-barang fungsional, yang dibuat di studio, dan merupakan komplemen barang fungsional buatan industri; barang-barang keramik hias; dan karya-karya keramik seni. Hampir dalam setengah abad terakhir apa yang disebut sebagai keramik dalam konteks contemporary craft di Barat, utamanya di Amerika dan Inggris adalah karya-karya seni, bukan karya-karya fungsional—kendati banyak yang didasari oleh bentuk-bentuk wadah/fungsional.
Mengapa barang-barang seni keramik tersebut dikategorikan sebagai contemporary craft? Hal ini semata-mata karena perbedaan genealogi sejarah seni keramik dengan kategori fine art. Seni keramik kontemporer di Barat merupakan bagian mutakhir dari benang merah kategori barang keramik sejak abad pertengahan di Eropa. Bermula dari guild (gilda)—serikat pekerja/artisan—yang berlanjut ke era renaisans, dan pada masa tersebut, keramik secara hirarki dinilai sebagai low art, berbeda dengan seni lukis dan patung marmer yang dianggap sebagai high art.
Sejarah seni lukis yang terinstitusikan dalam akademi seni berlanjut ke era otonomi seni dalam seni rupa modern abad ke-20. Sementara seni keramik mengalami industrialisasi di era Revolusi industri, dan menimbulkan reaksi penolakan yang dikenal sebagai art and craft movement. Salah satu imbasnya adalah tumbuhnya studio keramik di Perancis dan Inggris di akhir abad ke-19. Studio keramik tumbuh pesat di Euro-Amerika, Australia, Jepang dan Korea sejak tahun 70-an. Studio-studio mandiri tersebut menghasilkan barang-barang pakai, hias dan seni.
Salah satu paradigm shift dalam seni keramik terjadi di Amerika tahun 60-an, yaitu ketika para pekeramik di California bereksperimen dengan keramik, dan beberapa di antaranya mendapatkan rekognisi melalui karya-karya keramiknya, yang dilabeli sebagai ceramic sculpture.[ii] Beberapa nama yang dapat disebut adalah Peter Voulkos, John Mason, Kenneth Price dan Robert Arneson. Terlihat bahwa untuk mendapatkan perhatian arus utama seni rupa, para pekeramik tersebut mengarahkan medium keramik ke arah patung. Sementara sebelumnya, di Inggris, Bernard Leach memimpin “seni keramik” ke arah yang berbeda dengan para seniman keramik Amerika. Menurut Bernard Leach seni keramik yang proper adalah berbasis pottery. Bernard Leach percaya bahwa karya keramik harus memenuhi standar ideal bentuk dan teknik keramik. Bernard Leach sendiri pernah menetap di China dan Jepang, karena itu standar idealnya mengenai pottery sangat dipengaruhi oleh tradisi keramik Timur, China, Jepang dan Korea. Standar ideal tersebut termasuk sikap etik, low-profile dan membumi. Hal itu terlihat dari kedekatan Bernard Leach dengan Soetsu Yanagi, tokoh keramikus Jepang yang terkenal dengan kredonya “unknown craftsman”.
Apapun pengertian seni keramik, yang jelas keramik sebagai kategori craft eksis di Barat. Ribuan studio di sana menghasilkan barang-barang keramik fungsional, hias dan seni. Pelakunya terkategorikan sebagai craftsman, artist-craftsman, dan artist—tergantung intensinya masing-masing. Masyarakat di sana terbiasa dan akrab dengan karya-karya keramik, baik fungsional, hias dan seni. Di sana eksis craft council, craft gallery, craft museum, craft biennale, craft journal dan craft-fair. Hal itu yang meneguhkan tetap bertahannya kategori craft di Barat. Termasuk debat antara craft versus art. Yang pasti kategori keramik di sana selalu berada dalam kemungkinan tumpah tindih, yaitu antara studio versus industri, antara fungsi dan seni, antara dekorasi dan desain, antara kriya dan seni.
Dengan parameter medan kriya/seni keramik di Barat, maka karya-karya Fauzy dan Tisa dalam pameran ini terasa menjadi anomali dalam medan seni rupa dan masyarakat. Karya kedua perupa ini tidak berkawan, tidak memiliki komunitasnya. Di Indonesia, jumlah studio keramik yang sangat sedikit, untuk bangsa dengan jumlah penduduk 270 juta, jelas merupakan keberadaan yang bisa dikatakan anomali. Situasi ini tidak menguntungkan bagi apresiasi dan wacana seni keramik. Tentu mudah untuk menempatkan karya keramik kedua perupa tersebut sebagai karya seni rupa kontemporer dalam medan seni rupa Indonesia. Namun apa urgensinya? Toh “apapun” bisa menjadi karya seni rupa kontemporer. Tisa dan Fauzy adalah pekeramik lulusan perguruan tinggi seni rupa, keduanya menyandang gelar master, Tisa di Seni Rupa ITB, Bandung dan Fauzy di Central Saint Martins College of Arts and Design, London. Hampir pasti karya-karya keramik seni keduanya berkonsep. Namun apakah konsep tersebut berangkat dari realita wacana seni keramik lokal, atau dari pengetahuan mereka tentang wacana dan sejarah seni keramik Barat?
Tentu kedua perkara tersebut melandasi gagasan karya mereka. Namun, hal itu juga menunjukkan di satu sisi, menjadi anomali, namun pada sisi lain tidak tersedia tegangan—justru karena tidak ada penolakan, sebagaimana di masa lalu para seniman keramik di Barat dimarginalkan. Karena itu perlu dicatat beberapa hal untuk dapat mendudukkan karya Tisa dan Fauzy. Pertama, tidak ada perdebatan antara craft versus art dalam medan seni rupa di Indonesia. Kedua, dalam konteks seni rupa kontemporer, perdebatan antara craft versus art di Barat pun sudah tidak relevan. Ketiga, berbeda dengan seni rupa modern, arus utama seni rupa kontemporer bisa menerima karya-karya keramik seni. Contohnya adalah Grayson Perry dari Inggris yang pernah menjadi pemenang Turner Prize dengan karya-karya berupa bejana keramik yang permukaannya digambari,
Then, in 2003, renowned British potter Grayson Perry won the Turner Prize, and ceramics was thrust into the spotlight of the international art scene. Perry stated that at that time, pottery was “seen as second-class thing” in relation to more prestigious art forms such as painting and sculpture. In the years since his historic win, the distinction between fine art and craft has crumbled, and a new era of creativity in ceramics has arrived.[iii]
Berbeda dengan era Peter Voulkos dkk yang masuk ke dalam kecenderungan sculptural—kendati karya-karya Voulkos sesungguhnya masih didasari bentuk wadah, kendati dengan skala yang besar dan ekspresif—maka karya-karya keramik berbasis pottery pun dapat diterima oleh arus utama medan seni rupa kontemporer. Di Indonesia, tahun 80-an dan 90-an karya-karya berbasis pottery pernah muncul melalui tangan-tangan almarhum Suyatna dan Lim Keng Sien, dan sempat mengisi praksis seni keramik modern/kontemporer Indonesia tatkala itu. Kehadirannya cukup terasa, sebab saat itu praksis seni rupa kontemporer belum seriuh saat ini. Namun pada saat itupun sulit menempatkan posisi Suyatna dan Keng Sien dalam peta seni rupa Indonesia. Hal ini di antaranya disebabkan sikap Suyatna dengan romantisme keramikus ala Bernard Leach, dan menganggap “konsep seni” sebagai berbahaya untuk praktik seni keramik yang proper. Suyatna sangat mementingkan craftsmanship/skill dalam seni keramik. Hal itu merupakan kredo yang didapatnya pada saat belajar keramik di Jepang. Kedua seniman keramik berbasis pottery tersebut juga tidak memiliki benang merah dengan keramik tradisional di Indonesia. Berbeda dengan di Jepang, umumnya keramik tradisional di Indonesia tidak memiliki posisi prestisius dalam komunitas tradisi—berbeda dengan tekstil (tenun, songket, batik tulis).
****
Saat ini, dalam trend lukisan perupa muda dengan gaya pop surealis, ilustratif, mural, komik dan karya-karya berbasis digital, baik objek maupun NFT, keberadaan karya-karya Tisa dan Fauzy memang terasa sedikit “aneh” dalam peta seni rupa kontemporer. Namun justru karena itu, menarik untuk membincangkan karya kedua perupa ini. Karya-karya kedua perupa tersebut kesepian, hampir-hampir tidak berkawan. Saat ini, sebagian besar seniman keramik—yang jumlahnya sangat sedikit—di Indonesia yang menghasilkan “karya seni” memilih untuk menghasilkan karya-karya non-pottery, seperti figurine, patung, dan wall installation. Sedangkan studio keramik yang tidak banyak jumlahnya sibuk bertahan hidup dengan memproduksi barang-barang fungsional, yang juga kesulitan mendapatkan “apresiasi” dari publik. Tisa dan Fauzy merupakan pekeramik yang cukup sukses menjalankan studio keramik, yaitu Kandura Studio. Produk keramik fungsional Kandura mendapatkan apresiasi dari publik kelas atas di Jakarta. Bisa jadi karya-karya Tisa dan Fauzy dalam pameran ini berhubungan dengan pengalaman mereka dalam mengelola Kandura Studio.
Karya-karya Tisa dan Fauzy tidak bisa dilepaskan dari pemahaman mereka tentang sejarah seni keramik, khususnya pottery dalam konteks craft di Barat. Satu hal yang tidak terjadi di Indonesia dan tidak difahami oleh sebagian besar perguruan tinggi seni rupa di Indonesia. Kategori craft di Barat bermuka dua. Pada satu sisi, kategori craft menjadi semacam Salon des Refusés, yaitu kategori yang disingkirkan, sebagaimana dijelaskan oleh Paul Greenhalgh,
“For many commentators through the second half of the 20th century, it stood for a group of disciplines that were defined for negative reasons. They were craft because they weren’t art: basketry, metalwork, textiles, jewellery, woodworking, and pottery.”[iv]
Pada sisi lain, kategori craft juga menunjukkan aspek politis dan justru menentang paradigma seni rupa modern. Dijelaskan oleh Greenhalgh, “By 1900 in fact, a powerful artistic and philosophical lobby was in place that promoted a fresh view of what modern civilisation should be, and the role of this newly constructed thing, ‘craft’, in it.”[v] Apa yang dimaksudkan oleh Greenhalgh adalah sikap penentangan John Ruskin dan William Morris pada kapitalisme dan industrialisasi. Bagi Ruskin dan Morris, maka seni yang ideal adalah seni yang memiliki guna dan meningkatkan kemampuan manusia yang integral, di antaranya melalui penajaman craftsmanship, bukan division of labour ala industri. Dalam hal ini, baik Ruskin dan Morris, seni yang memiliki nilai guna jauh lebih baik dari pada pure art, atau “seni untuk seni.”
Saat ini, apa yang diidealkan Ruskin, Morris, Bernard Leach maupun Peter Voulkos dkk adalah persoalan pilihan. Beragam kemungkinan “seni keramik” tersebut eksis dan populis di Barat dan beberapa negara Asia seperti Jepang, Korea dan China. Jika sentra keramik tradisional di Jepang, Korea dan China eksis dan bertahan, serta mendapatkan dukungan Pemerintah dan masyarakat, maka di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya. Puluhan desa gerabah lenyap tanpa ada perhatian Pemerintah dan rasa kehilangan masyarakat. Demikian pula sulit bagi para pekeramik yang memiliki studio untuk dapat berproduksi, bahan baku keramik sulit didapat dan mahal. Satu hal yang tidak masuk akal di negara yang memiliki banyak bahan mineral seperti Indonesia.
Maka bagi Tisa dan Fauzy karya-karyanya dalam pameran ini merupakan sebentuk pengejawantahan untuk “menciptakan ketegangan” secara mandiri. Satu hal yang hanya bisa dirasakan oleh para pekeramik di Indonesia—yang masih mencoba terus berkarya—betapa besar rasa frustrasi menjadi seniman keramik di Indonesia. Namun, beruntung bahwa Tisa dan Fauzy adalah seniman, desainer dan kriyawan keramik yang tetap memiliki semangat. Setidaknya hal tersebut ditunjukkan oleh semangatnya dalam mengelola Kandura Studio, tetap berkarya dan berpameran keramik seni. Judul Pameran ini, Beyond Pottery: Entangle/Unravel, merupakan metafora sekaligus ironi mengenai seni keramik berbasis pottery di dalam medan seni rupa Indonesia.
Karya-karya Tisa berbentuk bejana silinder terakota, di sekujur permukaannya tampak laburan slip/lumpur lempung berwarna coklat, hitam dan bercak copper lustre (glasir metalik tembaga). Terakota merupakan bahan keramik paling primordial. Tradisi keramik di Indonesia hanya sampai pada teknologi pembakaran terakota atau earthenware. Karya-karya Tisa yang diberi tajuk “nyanyian terakota” jelas menyimbolkan kerinduan bejana terakota untuk mendapatkan “perhatian.” Laburan slip di atas permukaan wadah terakota mengingatkan kita pada brush stroke tebal atau impasto pada permukaan kanvas lukisan. Kita faham bagaimana terakota dalam kebudayaan material di Indonesia adalah bahan yang dianggap murah dan kelas bawah. Kata entangled dalam Judul Beyond Pottery, entangle/Unravel, merujuk pada karya Tisa. Entangle, bisa berarti membungkus atau menyisipkan. Dengan menyisipkan kesan impasto, Tisa seperti sedang berupaya meletakkan bejana terakotanya pada level yang lebih tinggi, yaitu level seni lukis. Karya “nyanyian terakota” menyiratkan harapan bahwa suatu ketika, entah kapan, karya-karya keramik seni mendapatkan apresiasi dan penghargaan yang semestinya.
Berseberangan dengan karya Tisa dengan bahan terakota yang primordial, karya-karya Fauzy dalam pameran ini berangkat dari perangkat makan minum berglasir, seperti cangkir, piring, dan mangkuk. Dengan latar belakang desain, maka soal bentuk, fungsi dan identitas visual menjadi keahlian dan kepekaan Fauzy. Karya-karya seni keramiknya berangkat dari kesadaran, analisa dan pengalaman Fauzy dalam menjalankan produksi piranti makan-minum di Kandura Studio. Bagi Fauzy, selain fungsinya, maka piranti makan juga memiliki kekuatan bentuk. Bentuk, dalam wadah keramik tidak semata-mata didasari oleh fungsi, sebagaimana kredo form follow function. Dalam fungsi yang sama, cangkir teh, misalnya, maka berbagai kemungkinan bentuk dapat dilahirkan. Bentuk—dan teknik—keramik dapat menjadi identitas sebuah komunitas bangsa, sampai identitas individual. Herbert Read, teoretikus seni terkemuka dari Inggris pernah berujar mengenai pentingnya keramik sebagai identitas kebudayaan material sebuah bangsa, semacam etos nasional, “Herbert Read believed of pottery that ‘a national ethos must find its expression in this medium. Judge the art of a country, judge the fineness of its sensibility, by its pottery; it is a sure touchstone.”[vi] Bagi Fauzy, maka bentuk-bentuk piranti makan dan minum merupakan potensi kekuatan bentuk yang dapat dirangkai menjadi kekuatan estetik, yang melampaui fungsinya. Mengenai hal itu, kembali Herbert Read memberikan pandangannya, “Pottery is at once the simplest and the most difficult of all arts. It is the simplest because it is the most elemental; it is the most difficult because it is the most abstract.” Namun kehadiran piranti makan-minum keramik sangat umum dalam keseharian, menjadi hal yang biasa, dan tidak diperhatikan. Kekuatan bentuk dan estetik piranti makan-minum keramik kerap luput dari pandangan kebanyakan orang. Karena itu Fauzy mengurai (unravel) , membelah, memotong dan menyatukan barang-barang wadah makan-minum. Hadir bentuk baru, kendati jejak-jejak piranti makan-minum masih terasa. Judul karya-karya Fauzy selalu didahului oleh kata ruminations (perenungan). Sepertinya dia mengajak pemirsa untuk merenungi baik bentuk karya keramiknya maupun posisi barang/karya keramik dalam konteks seni rupa maupun budaya material di Indonesia—yang sayangnya tidak tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.
Karya-karya Tisa dan Fauzy jelas merupakan benda keramik yang diniatkan sebagai karya seni. Karya-karya mereka memiliki kekuatan gagasan dan kontekstual dengan situasi seni keramik di Indonesia. Karya-karya tersebut sama urgensinya dengan karya-karya seni lukis tau new media dengan gagasan yang kuat. Bahkan urgensi karya-karya Tisa maupun Fauzy dapat melampaui medan seni rupa kontemporer, extended pada persoalan dan pewacanaan keramik tradisi, keterampilan/craftsmanship, desain dan keramik industri. Sebab dalam bidang-bidang tersebut Indonesia bisa dikatakan tertinggal dari bangsa-bangsa lain.
Semoga Tisa dan Fauzy dapat terus berkarya, kendati keduanya faham bahwa apresiasi terhadap keramik seni masih rendah di Indonesia. Semoga juga pameran ini dapat menjadi momentum agar muncul lebih banyak karya-karya keramik seni dan pameran menjadi lebih giat. Sebab minimnya seniman keramik yang berkarya tidak menguntungkan bagi praksis dan wacana seni keramik. Bagaimanapun sebagai medium, maka keramik seni memiliki medium specificity-nya. Berbeda dengan medium lain. Medium specificity keramik tidak dapat dipisahkan dari sejarah, teori, praksis dan wacananya. Tanpa konstruksi yang memadai berkenaan dengan komponen-komponen tersebut, karya-karya keramik seni, baik berbasis pottery maupun lainnya akan terus menjadi anomali dalam medan seni rupa kontemporer Indonesia.
Akhir September 2022
Asmudjo J Irianto
Bio
Tisa Granicia (lahir 1981) adalah seniman keramik independen, juga co-Founder dari Kandura Studio, Area Olah Karya, Atelir KSS dan Kaji Lempung. Tisa Menyelesaikan program Sarjana serta Masternya di Seni Rupa ITB. Sebagai Seniman keramik, Tisa banyak terlibat di berbagai pameran seni baik skala nasional maupun internasional. Tisa mengalami transformasi dalam berkarya keramik, pada masa awal berkarya Tisa banyak mengerjakan keramik yang sifatnya lebih kepatungan, sekarang ini karyanya banyak meminjam bahasa dari Vessel, dari keramik yang patung menjadi keramik yang lebih kembali pada trah-nya sebagai wadah.
Fauzy Prasetya Kamal (lahir 1982) adalah seniman keramik, konsultan, dosen, dan desainer produk berbasis kriya yang telah memenangkan beberapa penghargaan. Penjelajahannya dalam membuat objek keramik dimulai setelah lulus dari Desain Produk ITB yang dilanjutkan dengan turut mendirikan Kandura Studio, yang aktif merancang dan membuat piranti makan keramik. Eksplorasi ini kemudian menjadi pencarian sepanjang hayat baginya, terutama setelah menyelesaikan studinya di MA Design: Ceramics di Central Saint Martins College of Arts and Design di London. Fauzy saat ini mengeksplorasi tema-tema terkait bahasa material keramik, aplikasi bahan keramik, logika dan konsekuensi dari proses membentuk, pemikiran dibalik perangkaian keramik dan konteks hubungan antara fungsi dan estetika maupun ketiadaannya.
Pameran sedang berlangsung di KALA KARYA, Blok M
6 – 16 Oktober 2022
Buka setiap hari
Senin – Jumat, pukul 13:00 – 18:00 WIB
Sabtu – Minggu, pukul 10:00 – 20:00 WIB