Dari Pembukaan Pameran Andry Moch. “Not Fade Away”
- November 16, 2011 -
Teks & Foto: Anton Paragraf
Jumat ini mirip semua angkanya: tanggal 11, bulan 11, tahun 2011, jadi banyak acara yang sengaja dibuat. Karena menurut sebagian orang, ini angka manis dan baik. Mudah untuk diingat saja bagiku, tapi hari tetap saja hari.
Bandung agak panas. Kemarin hujan deras mengguyur, tanah basah dan cuaca dingin tidak berbekas.
Saya berangkat ke Galeri Soemardja di kampus ITB. Menempel di Fakultas Seni Rupa. Kesatuan. Saya pikir sudah ramai, ternyata tidak, kalah ramai dengan parkiran mobil dan motor di depannya yang sudah antri sampai jalan Ganesha di depan kampus.
Saya lihat Hera di sana, salah satu yang saya kenal dan istri kurator pameran ini. Dia sedang menata meja yang jadi semacam tempat jualan benda kenangan. Saya mampir dan menyapa, dia langsung tanya, “Kapan sampe Bandung? Sama siapa?” Tak lupa tersenyum ketika melihat saya mendekat. Lalu saya jawab sambil memberikan Majalah Cobra edisi perdana dan kedua untuk dijual di meja itu. Dia ngasih minuman dari bawah meja, saya tidak bawa karena sudah berat bawaan saya. “Titip dulu, ya,” kata saya sambil menaruh minuman itu di bawah meja lagi.
Saya masuk. Penasaran, seperti apa karya-karya Alm. Andry Moch. Mumpung masih sepi, saya bisa bebas lihat-lihat. Banyak yang masih kerja merapikan tatanan karya dan tulisan keterangan.Yang paling mudah dilihat, ada Radi Arwinda yang besar badannya. Ada Faisal Habibi yang juga kerja bantu-bantu menata. Ada Aminudin Th. Siregar “Ucok” si kurator pameran, suami Hera, sama Layka, anak perempuannya yang lagi mau menggambar di meja pojok dekat tangga dan pintu masuk galeri. Saya sapa, tapi dia diam dan mulai menggambar.
Saya ambil kamera, foto-foto. Banyak juga karya di pameran Andry ini. Dia pasti senang kalau melihat pameran ini. Dia pasti bangga sama teman-temannya dan nggak nyangka. Jadi campur sedih pikiran saya sekarang.
Masuk Muhammad Akbar, karib si Andry Moch., saya foto saja dia sambil mengobrol. Tiba-tiba ada yang tersenyum lebar di depan saya: Mufti Amenk Priyanka. Saya baru sadar bahwa orang di dekat saya dan Akbar itu dia, soalnya dia dan dua temannya lagi sibuk dengan monitor dan sound karya Andry yang belum selesai dirapikan. Wajar kalau nggak kelihatan mukanya, karena dia nunduk dengan rambut panjang, biasanya pake topi. Dia juga salah satu karib Andry, satu band di A Stone A. Pikir saya, senang bisa ngambil foto mereka yang kerja nyiapin pameran, nanti pasti ngambil foto waktu ramai pengunjung beneran.
Ketemu Tisa Granicia yang sibuk mau jadi MC. Ada Nuri Fatima dan Yusuf Ismail. Saya perlu makan, acara pasti masih lama dimulai. Dan harus minum obat. Saya ajak Nuri untuk makan malam karena dia tampak bosan juga menunggu. Kita makan di dekat mesjid. Black, nama tempatnya. Saya makan capcai dan nasi, minum teh tawar. Nuri minum jus mangga. Semua enam belas ribu rupiah, harga pelajar.
Jalan kaki ke Soemardja, lewat parkiran mobil yang makin panjang di sekitar kampus. Dari jauh, hitam-hitam siluet gerobolan orang duduk dan berdiri ngerubung di depan Galeri Sumardja. Saya jadi mikir, jarang ada pembukaan pameran tunggal seramai malam itu, kecuali acara musik. Tapi memang bakal ada musik juga: Cuts, Teman Sebangku, dan A Stone A. Tapi, ya, tetap beda. Soalnya banyak orang yang kagum sama Alm. Andry Moch. lewat karya dan sifatnya. Banyak yang datang adalah teman-teman yang bersentuhan langsung semasa dia hidup. Sungguh pun belum dikenal umum, tapi sebentar lagi bukunya akan diterbitkan. Saya mau beli.