Lisabona Rahman
- March 1, 2012 -
Oleh: Harlan Boer
Foto: Anggun Priambodo
Baru saja dia berangkat ke Belanda, sekolah preservasi film di Universitas Amsterdam. Di sana, Lisa akan mempelajari cara melestarikan, merestorasi, dan mempertunjukkan film. Juga perkara teknis pelestarian film. Keahlian di bidang tersebut sangat diperlukan untuk menangani warisan sejarah film kita, sementara di Indonesia sendiri belum ada ahli yang menekuni bidang ini.
Berawal dari Art Cinema, gagasan ini kemudian berganti menjadi kineforum, di mana Lisabona dikenal sebagai programmer (kemudian juga manajer program) sejak ”bioskop alternatif” itu pertamakali beroperasi pada 2006. Lokasi awal berada di Studio 1 TIM 21, kemudian sejak 2010 kineforum memiliki ruang sendiri, masih di kawasan Taman Ismail Marzuki.
Dengan hadirnya kineforum, kita lebih dari dapat mengakses film-film dari aneka penjuru dunia yang sukar untuk dapat ditonton, tapi juga melihat konteksnya melalui teks, pameran sampai diskusi, hingga bersenang-menyaksikan kejutan konser musik yang dipresentasikan eksklusif dan menarik. Salah satunya: mendapatkan pengalaman atmosfir kuburan lengkap dengan pocong-pocong melompat dan kultilanak yang berterbangan pada penampilan band horror punk Kelelawar Malam.
Duduk berhadapan, dia menjepit 234. Lisabona Rahman, yang sekilas sosoknya menyerempet Patti Smith sawo matang, melangsungsang sesi wawancara bersama MAJALAH COBRA.
Kineforum paling gampang didefinisikan sebagai bioskop alternatif untuk film-film yang nggak bisa atau susah untuk ditonton di bioskop pada umumnya. Kalau menurut lo, Kineforum tuh apa?
Itu bener, sih. Pada dasarnya kineforum cuma tempat buat nonton film yang biasanya nggak bisa lo tonton di tempat lain. Tapi kalau kebiasaan nonton lo udah kebentuk, terus lo ketemu film yang jarang-jarang lo tonton, kadang-kadang lo jadi nggak kepingin. Berarti kan tugas gue bukan cuma muterin filmnya, tapi juga memperkenalkan. Mesti ada acara-acara penunjangnya, bisa bentuknya diskusi, pameran, pertunjukan-pertunjukkan yang lain atau kegiatan-kegiatan bagimana me-
ningkatkan kepedulian orang ter-hadap film, misalnya fund raising.
Apa sih kebutuhannya bagi orang yang nonton film-film di Kineforum?
Secara umum, apa yang bisa kita dapat dari nonton film di bioskop komersial yang sangat terbatas? Selera film lo cuma ditentuin sama 2 atau 3 orang. Orang-orang ini adalah yang punya bioskop dan pengimpor film. Buat gue, itu nggak fair. Lo mesti punya pilihan, dan itu tugas gue di Kineforum. Dari kekayaan perfilman dunia yang segini banyak macamnya, gue mesti ngisi apa yang nggak ditawarin sama bioskop komersil. Dalam pekerjaan gue, makanya gue harus dibantu oleh banyak orang untuk milih film-film ini. Menurut gue, kalau orang kebiasaan punya pilihan yang bermacam-macam, citarasa atau seleranya akan berubah. Dia nggak cuma suka dan paham film yang itu-itu aja. Sementara teman-teman gue yang bikin film jenisnya udah bermacam-macam. Gue kepingin dong karya-karya itu ditonton.
Sebelum Kineforum ada, ketika namanya masih Art Sinema, yang dilakukannya kurang lebih sama?
Mirip. Programnya juga dipilih, ada kuratorialnya, film-filmnya tertentu: ada film klasik, ada film seni. Kalau kineforum, programnya lebih campur. Kita juga memutarkan film-film popular atau mainstream, tapi tujuannya lain. Tujuanya bukan sekedar menjadikannya produk hiburan. Tapi lo bisa dapat entah konteks karya itu dibikin, atau mi-
salnya retrospektif: Lo ngelihat lebih detail si aktor ini, biarpun main film pop, kapasitasnya kayak apa. Jadi, kalau dibandingin dengan Art Sinema dulu, program kineforum lebih beragam.
Film-film awal yang dipilih ketika memulai kineforum?
Dua bulan pertama campurannya adalah film Indonesia klasik dan Indonesia kontemporer. Karena setelah gue diskusi sama komite film DKJ waktu itu, kita memang nggak punya tempat untuk nonton film-film Indonesia lama. Kalaupun ada, misalnya dari VCD bajakan atau Youtube, itu kualitasnya ancur, kan? Sementara film itu dibuat dengan kualitas jauh di atas yang bisa kita dapetin dari VCD bajakan atau Youtube. Sehingga sejak awal gue dan komite film bersepakat bahwa tulang belakangnya program ini memang harus sinema, terutama sinema Indonesia.
Pertimbangannya karena susahnya akses untuk menonton film-film Indonesia lama?
Jangankan yang lama, yang baru aja susah.
Untuk menjalankan program, pakai dana dari DKJ?
Iya. Kita dapat tunjangan subsidi APBD kota Jakarta. Awalnya 100% subsidi, tapi lama-lama kita bisa 20% mandiri, setelah lima tahun.
Bikin apa aja sampai bisa mencapai 20% mandiri?
Fund raising, cari sponsor, atau cari donor.
Kadang kineforum bukan cuma muterin film, kaya kolaborasi waktu Efek Rumah Kaca bikin acara “Video Melulu” terus diputar di sana. Sebenernya apa yang lo cari dari project-project seperti itu?
Satu dekadenya kineforum harus bisa jadi punya banyak orang. Orang yang datang ke sini, baik sebagai penonton atau pembuat film, ngerasa ini sebagai rumah. Makanya dari tahun pertama sampai kelima, yang gue lakuin adalah ngebuka pintu selebar-lebarnya untuk kolaborasi. Tentu ada standarnya, nggak bisa segala macam kolaborasi gue kerjain. Yang paling kita hidari kolaborasi untuk kepentingan kampanye partai politik atau agama. Tapi untuk kajian politik, kajian agama, itu boleh, kita terima. Gue juga berusaha bukan cuma seniman doang yang merasa memiliki akan ini, tapi juga aktivis, ilmuan sosial, bahkan juga kalau bisa pejabat-pejabat pemerintahan. Tapi tidak ada satu pihak pun yang bisa bilang dia penguasa ruangan ini, yang paling nentuin. Supaya dia qualify sebagai tempat publik, sehingga siapa saja merasa memiliki akses ke sini
Hambatan-hambatan sebagai manager program? Usaha untuk mengatasinya?
Tantangan terbesarnya sebenarnya karena tempat seperti ini belum pernah ada di Indonesia. Untuk menyusun kerangkanya, dari nentuin anggaran, tempat, orang-orangnya, sampai nentuin partner, itu punya tantangan tersendiri, karena interpretasinya masih kebuka banget. Yang paling susah menurut gue, bagaima membiayai operasional program-programnya dan maintenance tempatnya. Yang kedua, gimana caranya nge-balance semua kepentingan biar tercermin di sini.
Waktu pertama kali bikin kineforum, pakem-pakemnya secair apa sehingga terbentuk kayak sekarang?
Pakem-pakemnya ada. Prioritas utamanya itu sejarah sinema: 50% sejarah sinema Indonesia, 50% sejarah sinema dunia. Yang namanya sejarah kan bisa lihat ke belakang atau juga ngelihat apa yang terjadi sesudahnya dan nempatin itu dalam konteks. Jadi, panduan dari segi temporal acuan waktunya, gue harus bisa ngeliatin rentang waktunya dari film itu dibikin sampai sekarang. Kalau soal genre, sebisa mungkin semua genre ditempatin di sini. Tapi sifat utamanya untuk ruang belajar mengenal genre. Misalnya, lo mungkin bisa setiap hari menonton film horor di bioskop, tapi kalau di sini lo nggak cuma nonton film horor yang beredar sekarang tapi juga yang dibikin tahun 70an, 80an, plus bisa dengerin lecture soal film horor Indonesia.
Sejak lo merumuskan itu, audience-nya siapa sih yang terbayang?
Yang paling dominan sekarang rata-rata pekerja atau mahasiswa,
umurnya 18-35. Biasanya orang-orang itu penikmat festival film ka-yak Jiffest yang memang haus akan film-film yang kurang biasa. Tapi memang kelompok ini kecil, dan tumbuhnya nggak cepat. Dalam satu tahun antara 18.000 sampai 40.000 penonton. Segitulah kira-kira.
Lo bikin merchandise film-film Indonesia klasik juga, tujuannya?
Yang pertama, seri yang ada Atengnya itu, untuk cari dana perawatan film Indonesia. Kineforum bikin acara sebulan penuh, lo bisa nonton film Indonesia dari tahun ‘31 sampai sekarang. Dan dibuat program-program khusus. Waktu bikin ini, kita ngeh, kalau film-film Indonesia ini nggak dirawat, paling sampai tahun ke-3 sudah habis, nggak ada stoknya. Karena kesadaran itu, kita memutuskan bikin fund raising rutin setap tahun, salah satunya dengan menjual merchandise.
Aktivitas lainnya?
Konser musik. Untuk itu, gue selalu kerjasama bareng Indra Ameng, dari tahun pertama.
Kenapa Sinematek nggak bisa melakukan itu sendiri, ya?
Kalau menurut gue, problemnya di manajemen. Nggak ada strategi atau prospektif yang utuh untuk menjalankan konstitusi seperti Sinematek. Sinematek bukan lembaga pemerintah, dulunya dapat subsidi dari DKI, sekarang udah nggak. Karena memang orang-orang yang mengurus nggak merawat hubu-ngan, Sinematek nggak diposisikan dengan benar sama yayasannya, jadi Sinematek selalu kekurangan duit. Kapasitas orang-orang yang ngerawat film di situ memang sudah nggak cukup untuk ukuran jaman sekarang. Jadi permasalahannya bukan cuma duit, tapi pemikiran.
Beberapa contoh program yang dijalankan kineforum?
Menurut gue, yang paling penting “Sejarah adalah sekarang” yang dijalankan setiap tahun, setiap Maret. Di dalam satu bulan ada rangkaian kegiatan: pemutaran film, pameran tentang sejarah bioskop dan per-filman di Indonesia, konser musik, diskusi. Asumsinya sederhana banget: Kalau orang jaman sekarang nggak mau peduli dia punya sejarah, ya sejarah sama aja nggak ada.
Setelah ”Sejarah adalah sekarang” sudah lima kali berjalan, apa yang lo dapetin dari penonton?
Yang paling kerasa itu lonjakan penontonnya. Tahun pertama, tahun kedua, sepi. Tapi menginjak tahun ketiga sampai sekarang, kita sampai nolak-nolakin orang. Kepenuhan. Bahkan sejak tahun keempat kita sudah menghentikan publikasi di media masa. Yang harus dilakukan kalau mau mengakomodir pertumbuhan penonton ini, berarti harus ada venue-venue baru. Jadi skala acaranya harus digedein, baru ke-tampung.
Menuju ke sananya gimana?
Menurut gue, skala kepengurusannya juga harus digedein. Sampai sekarang tim “Sejarah adalah sekarang” mempersiapkan acara empat bulan sebelumnya. Kalau skala acaranya mau digedein, menurut gue persiapannya minimal setahun. Nyari filmnya, nge-loby sponsor-sponsor, nyari venue, karena tentu biayanya jadi lebih gede. Dan menyiapkan strategi publikasi yang lebih baik. Supaya di semua sisi kualitasnya naik.
Kalau programmer-programmer-nya, siapa aja sih selama ini di kineforum?
Kalau yang rutin sampai tahun kelima tuh cuma gue. Tapi silih berganti ada beberapa orang yang secara continue bikin program. Hafiz misalnya, atau temen-temen dari Forum Lenteng.
Hafiz biasanya bikin program apa?
Dokumenter atau video eksperimental. Terus, Dimas Jayasrana dan Lulu Ratna untuk film pendek. Dulu waktu Konfidence masih aktif sebagai festival, gue tiap tahun minta mereka bikin program film pendek. Q film festival juga timnya bikin program. Ada juga beberapa programmer yang sebenarnya programmer festival yang bikin event, misalnya ”Goelali Film Festival”, mereka bikin festivalnya di sini. Jadi kalau mau dihitung sampai yang nggak tetap, ya banyak orangnya. Plus beberapa orang yang kerja sebagai volunteer di kineforum juga mulai belajar jadi programmer juga. Karena mereka kan udah menguasai packaging, program film, udah tau aksesnya dari mana, prosedurnya gimana. Selama dua tahun ini gue ngasih kesempatan khusus buat temen-temen yang rata-rata masih kuliah itu untuk exercise programming.
Para mahasiswa itu biasanya bikin program apa?
Biasanya, mereka yang tertarik dan serius kerjanya, gue kasih “Sejarah adalah sekarang”. Karena di situ tantangannya paling tinggi.Dan challenge-nya juga besar karena penontonnya banyak, mereka nggak bisa asal-asalan, tanggung jawabnya tinggi. Di sisi lain, karena acara ini udah punya nama, penontonnya juga pasti ada, jadi mereka nggak harus kerja ekstra ngedatengin penonton. Nah, kalau udah ”lulus” di situ, mereka boleh bikin apa aja.
Bagaimana pemilihan film untuk “Sejarah adalah sekarang”?
Range-nya cukup luas dan suka repetitif. Ada beberapa yang tiap tahun keluar terus-terusan. Itu karena asupannya sedikit. Di Indonesia dari tahun ‘26 tuh mungkin ada sekitar 3000an judul film panjang yang pernah dibuat, yang selamat kurang dari 10%. Itu sebabnya program-program yang gue bikin dibatesin salah satunya dengan keterbatasan film yang ada. Tentu saja 10% yang gue bilang tadi baru koleksinya Sinematek. Masih ada produser-produser film yang menyimpan film-film lamanya mereka untuk dijual lagi ke TV. Ini kan berarti juga PR. Pelan-pelan dari “Sejarah adalah sekarang” gue mulai mengenal jaringan ini dan mulai bekerja sama. Selain harus milih dari sisa film yang ada, kita setiap tahun pasti punya masalah aktual yang entah hubungannya dengan estetika, politik, apa pun namanya itu. Nah, itu yang kita gunakan sebagai cantolan kalau mau bikin program. Kira-kira issue apa nih tahun kemarin, se-hingga kita bisa ngolahnya lagi buat gagasan program “Sejarah adalah sekarang” tahun ini.
Contoh yang terdekat, yang tahun lalu, itu dari mana?
Kalau yang tahun lalu ya, misalnya Usmar Ismail. Prospektif-prosfektifnya Usmar Ismail bukannya nggak pernah dibikin, cuma sifatnya tuh kalau nggak nostalgia ya nih Usmar Ismail tuh dewa, udah lo terima aja, deh. Sekarang yang gue lakukan dengan temen-temen Forum Lenteng adalah ngasih kesempatan ke temen-temen yang mungkin sekarang umurnya 25, nih lo tonton tanpa peduliin lagi statusnya si Usmar Ismail. Jadi kayak tahun ini kita ngebongkar lagi nih statusnya Usmar Ismail, bener nggak sih dia dewa.
Kalau dari prospektif-prospektif yang ada, yang peminatnya banyak tuh ketika sutradaranya siapa?
Usmar Ismail hits lah, ya. Tapi setiap tahun kita juga bikin retrospeksi aktor, kayak Suzana. Tahun kemarin kita malah bikin retrospeksi film anak. Pernah juga kayak special section untuk film-film dengan tata artistik yang challenging.
Sejauh apa perbedaan selera bioskop-bioskop komersial de-ngan kineforum?
Kalau menurut gue, deket banget. Karena bagaimanapun penonton film bioskop komersial itu yang
punya standar selera. Artinya, lo harus di dalam suatu ruangan yang gelap, tata suaranya bagus, proyeksinya bagus. Kalau sebelumnya nggak punya standar kayak gitu,
nggak ada perlunya mereka nonton ke kineforum, lo nonton aja di Youtube atau VCD bajakan. Justru penontonnya adalah yang seleranya terbentuk dari bioskop komersial, cuma pingin lebih.
Film-film lama, dari yang gue lihat, banyak yang komersial di eranya dan lo bawa ke “Sejarah adalah sekarang”. Nah, penonton melihatnya bagaimana? Apakah sebagai film komersial atau sebagai film asing dari yang mereka bayangkan?
Gue rasa mereka melihat itu sebagai barang aneh. Nggak jarang penonton yang bisa ngetawain bahasa Indonesia yang dipakai di film lama, walaupun bukan film komedi, kadang orang nangis bisa diketawain. Karena kan mereka memperlakukan itu kayak freak show, barang aneh aja. Jadi dateng rame-rame buat diketawain. Menurut gue, meskipun pahit ya, barangkali proses pengenalan kembali memang kaya gitu. Kita aja kalau balik lagi ngelihat film jaman segitu suka cekikikan sendiri, kan? Tapi menurut gue itu modal utama gue karena penonton-penonton gue bukan orang-orang yang bernostalgia. Gue menghindari banget lah sisi nostalgianya, ka-rena namanya nostalgia ya milik si pelaku, sedangkan yang namanya sejarah milik yang nggak pernah ngalamin. Makanya gue cuek aja mereka dateng buat ketawa-ketawa, toh tahun depannya mereka dateng lagi, dateng lagi, dateng lagi.
Waktu itu lo muterin ”Duo Kribo”, mungkin aja yang ditulis sama penulis skenarionya (Remy Silado) justru dipahami sama banyak orang jaman sekarang, bukan pas di eranya. Pernah nggak lo menemukan yang kayak gitu, yang pada eranya dianggap aneh, dan dipahami konteksnya justru era sekarang?
Contoh yang paling sempurna ya ”Duo Kribo”. Waktu itu sutradaranya dateng kan, dia kayaknya berharap setengah jalan, penonton pada keluar karena nggak suka. Kayaknya dia menyesali gitu punya karya begitu. Tapi penonton masuknya ngantri, banyak yang nggak bisa masuk, tinggal sampai selesai, dan malah ada yang mau diskusi sama dia. Nah, yang bikinnya sendiri aja kayak salah paham sama karyanya sendiri. Itu gimana sih, aneh banget. Hahaha.
Sutradanya bilang ”Ini saya pengabdian karena film pertamanya dari PH yang sama”, ya kan?
Pembukaannya dia kan gini, ”Saya nggak suka music rock”. Terus kita semua kayak melorot gitu di bangku. Hah, maksud lo? Nggak suka musik rock tapi bikin film sama Ucok Aka dan Ahmad Albar. ”Saya bikin film ini karena duit.” Nah, loh…Hahaha. Tapi ya gue begitu nonton masa bodo amat niatnya dibuat karena apa, yang penting kan barang jadi nih.
Ada detail dialog yang mungkin dulu nggak terlihat, justru anak sekarang yang ngerti dengan luasnya referensi musik era sekarang…
Dan satu lagi tuh: film ”Lewat Djam Malam”. Okelah, nih film canggih. Tapi, pada masanya flop, nggak laku. Film itu udah gue puter tiga kali di “Sejarah adalah sekarang” dan hampir setiap kali tuh ramai penonton. Nggak selalu full house kayak kalau muter ”Tiga Dara”, tapi rame. Dan orang-orang jaman sekarang kaya referensi. Di film ”Lewat Djam Malam” kan ada tokoh pelacur, karena ini waktu jaman perang, semua orang miskin, nggak ada hiburan, nggak ada referensi, kerjaan pelacur itu ngeliatin majalah LIFE. Mungkin pada saat itu cuma beberapa penonton yang ngerti majalah LIFE tuh tentang apa. Tapi kalau jaman sekarang, kita ngerti apa itu majalah LIFE. Itu contoh yang sempurna juga, tuh.
Film ”Tiga Dara” termasuk yang paling top, ya?
Setiap tahun pasti diminta. Film itu kan memang rapihnya bukan main, ya. Aktornya bagus, musiknya bagus. Sinematografinya barangkali nggak perfect, tapi bagus. Dan ka-rena kita bangsa minder, yang apa-apa merasa nggak bagus, merasa kurang, ketika nonton film ini tuh, ”Oh, nggak kok, we’re not bad”. Kita bahkan mencapai kesempurnaan di titik-titik tertentu. Gue rasa bahkan orang-orang pingin lihat film di masa dulu karena pingin dapet inspirasi. Lagi-lagi ini bukan nostalgia, tapi kita pingin ngelihat yang di masa lalu buat masa yang akan datang. Dan gue pikir itu yang bikin orang minta lagi, minta lagi.
Kalau dibalik: Ada nggak penonton yang relatif lebih tua, dan begitu menikmati film-film hari ini?
Ada, tapi jumlahnya sedikit banget, barangkali di setiap event tuh cuma satu, dua orang. Rekor tertinggi usia tertua penonton terjadi tahun 2011, 82 tahun.
Dia nonton film apa?
Segala macem, sampe film dokumenter Seringai ”Generasi Menolak Tua”, dia tonton. Gue penasaran juga, dia keluar nggak, ya? Tahan nggak, ya? Ternyata sampai habis! Gue tungguin di teras, pingin curi denger aja dia ngomong apa. “Ini anak umur segini aja udah menolak tua, saya udah umur 82 tahun aja biasa aja.” Hahaha….
*tulisan ini termuat di Majalah Cobra edisi dua