5 Pertanyaan Cobra Versus Covid-19 Untuk Dave Lumenta

- May 25, 2020 -

Oleh: Prima Rusdi
Foto koleksi pribadi

Dave Lumenta, antropolog alumni lulusan Departemen Antropologi UI pada tahun 1997. Ia kemudian memperoleh gelar doktor (Ph.D.) dari Graduate School of Asian and African Area Studies (ASAFAS) di Kyoto University pada tahun 2008. Sejak 2017, Dave menjadi Chief Editor Jurnal Antropologi. Kegiatan beliau saat ini adalah menjadi peneliti dan staf pengajar program sarjana dan pascasarjana Departemen Antropologi UI. Di luar itu, kegiatan Dave Lumenta adalah bermusik, memotret, bahkan pernah juga menjadi aktor.

Edisi 5 Pertanyaan Cobra Versus Covid-19 kali ini menawarkan tantangan seru bagi pembaca untuk bercakap dengan Dave Lumenta secara ringkas dan padat. Sebagai catatan, Dave punya semacam keahlian komunikasi yang cukup langka. Beliau bisa menguraikan beragam hal kompleks secara jernih dan mudah dicerna. Fokus kali ini adalah mempertanyakan kenapa masyarakat kita terkesan jauh dari sains, di mana posisi ilmu sosial kita, apa akibat dari ketiadaan filsafat dalam konteks keseharian dan pertimbangan apa yang cenderung digunakan sebagian besar masyarakat saat merespon isu seraksasa Covid-19.

1. Kenapa masyarakat kita terkesan jauh dari sains? Bukankah ini kontradiktif dengan popularitas jurusan ilmu pasti yang jadi tujuan mayoritas siswa SMA sejak lama?

Sains di Timur Tengah (abad 10-15) dan Eropa (sejak abad ke 17)  lahir melalui sebuah pencarian yang berangkat dari filsafat. Apa hakekat manusia? Bagaimana alam bekerja? Bagaimana kita memahami hubungan manusia dengan alam? Apakah kita memercayai firasat atau pengalaman indrawi? Dan, bagaimana mendamaikan keduanya? Metode apa yang dapat kita gunakan untuk mencari kesepakatan tentang apa yang kita tahu? Bagaimana kita menarik batas antara kepercayaan dan kebenaran empiris? Pergumulan dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis semacam ini melahirkan formasi kebudayaan yang kita kenal dengan ‘modernisme’ – yang dibangun di atas empirisisme (dalam ilmu pengetahuan), sekularisme (dalam ranah sosial) dan demokrasi (dalam politik).  Sains, sekularisme dan demokrasi juga dicangkokkan di Indonesia, namun secara instan tanpa lintasan perdebatan filosofinya – dan ini menjadi masalah. Meski ilmu pasti dan sains masih menjadi pilihan utama bagi mayoritas siswa SMA, cita-cita untuk belajar sains sering dianggap sebagai prasyarat untuk mendapatkan pekerjaan ‘terhormat’ dan digaji tinggi. Prestise sains di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari cita-cita teknokratik yang terbentuk oleh ideologi pembangunan sejak era Orde Baru yang penuh dengan simplifikasi. Dibebani oleh obsesi mengejar ketertinggalan kita dari negara-negara ‘maju’, pembangunan direduksi menjadi pembangunan fisik tanpa menghiraukan kebutuhan manusia dan alam yang lebih holistik. Sains diletakkan dalam kepentingan sempit ini. Kita terobsesi menjadi modern tanpa memahami filosofi maupun etika yang berkembang dari perdebatan yang melahirkan modernitas. Tanpa pemahaman yang mengakar pada filsafat, sains dengan mudahnya dijinakkan oleh kepentingan-kepentingan politik. 
 

2. Terkait pertanyaan nomor 1, meski jauh dari sains namun ilmu-ilmu sosial pun tampaknya tidak mendominasi/berperan secara signifikan dalam memengaruhi cara pandang masyarakat, apa yang sebetulnya terjadi? Di mana posisi ‘ilmu’ dalam konteks Indonesia sekarang?

Ilmu sosial sendiri berada dalam posisi yang kontradiktif. Di satu sisi, ilmu sosial berkembang lama sebagai instrumen pengetahuan untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering) sesuai dengan pesanan penguasa politik. Pada sisi yang lain, ilmu sosial juga berkembang sebagai kritik sistematis yang berusaha mengurai penyebab penindasan, ketidakadilan maupun ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Di Indonesia, ilmu sosial sebagai sebuah kritik selalu bertabrakan dengan kepentingan kepentingan penguasa – dan tidaklah mengherankan bahwa masukan-masukan kritis ilmuwan sosial dianggap membahayakan. Negara hanya membolehkan perkembangan ilmu sosial yang sesuai dengan visi pembangunan maupun ideologi politik yang dianut penguasa. Satu hal yang harus disadari adalah bahwa masyarakat itu kompleks, dan biasanya para ilmuwan sosial lah yang menyadari bahwa perbaikan kualitas kehidupan masyarakat tidak bisa dilakukan melalui simplifikasi-simpifikasi yang disenangi oleh negara. Rekomendasi dari ilmuwan sosial sering dianggap mahal, tidak efisien dan sulit diterjemahkan menjadi anggaran, dan karena itu ilmu sosial sering diperlakukan sebagai anak tiri.

Pembangunan di Indonesia bisa diibaratkan seperti usaha berlayar. Kita sibuk meniru bagaimana membuat kapalnya secanggih mungkin, tapi tidak pernah bertanya kebutuhan penumpangnya dan tujuan yang ingin dituju. Negara sibuk mengayomi para ahli ilmu pasti dan ekonomi agar kapalnya keren, bertenaga dan efisien. Ilmu sosial yang seharusnya mengurai kebutuhan para penumpang dipinggirkan (bukankah kebutuhan penumpang begitu kompleks dan bervariasi?). Lebih terpinggirkan adalah humaniora yang seharusnya dilibatkan untuk merumuskan ‘pulau’ yang mau dituju, bukan hanya sesuai aspirasi dan kebutuhan penumpang, tapi juga apa yang dianggap terbaik bagi para penumpang. Terbaik bagi para penumpang artinya yang tidak mengingkari humanitas/perikemanusiaan para penumpangnya.

3. Menurut pengamatan, sebetulnya apa yang cenderung digunakan sebagai basis/pertimbangan bagi masyarakat saat merespon peristiwa sebesar Covid-19 ini?

Covid-19 menyebar sebagai pandemi secara cepat karena dia mendompleng seluruh struktur globalisasi yang telah dibuat oleh manusia – dan dalam konteks ini, Covid-19 tidak hanya mengancam kesehatan manusia, tapi juga dengan cepat dapat melumpuhkan ekonomi dunia dalam skala global. Persoalan besar adalah dominannya perspektif ekonomi dan politik yang dipakai banyak penguasa politik dalam menyikapi dan merespons virus (Covid-19, ed.) ini. Penguasa maupun masyarakat sering tergiring untuk berpikir tentang Covid-19 dalam sebuah dikotomi: apakah kita mau mementingkan kesehatan publik atau ekonomi? Ini adalah persoalan yang muncul sebagai konsekuensi dari tingginya ketimpangan sosial-ekonomi dalam skala global. Masyarakat miskin tidak memiliki kemewahan untuk tinggal diam di rumah saat mereka tidak memiliki uang. Banyak studi juga menunjukkan bahwa masyarakat miskin lebih rentan untuk terjangkit Covid-19 karena kualitas hidup yang rendah. Para politisi juga sadar, jika ekonomi ambruk, mereka tidak akan terpilih lagi. Pertimbangan elektoral dan bisnis menjadi lebih penting dari pada pertimbangan sains dan kepentingan publik. Contoh nyata dari politisi macam ini adalah Donald Trump dan Jair Bolsonaro (Brasil). Beberapa politisi Indonesia rupanya tidak jauh berbeda. Masih segar dalam ingatan kita pernyataan seorang politisi yang melihat pandemi sebagai ‘berkah’ bagi pariwisata. Begitu halnya dengan tidak adanya ketegasan pemerintah dalam memutuskan pemberlakuan lockdown. Ujung-ujungnya, ketimpangan ekonomi dan sosial.

4.Kenapa klenik atau hal-hal supranatural/mistis masih jadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sebagian besar masyarakat hingga sekarang?

(Terkait dengan pertanyaan no 1). Saya ingat satu pernyataan dari filsuf Perancis Bruno Latour yang pernah mengatakan bahwa ‘jangan-jangan kita belum pernah menjadi modern’.
Ketika para founding fathers Indonesia membayangkan ‘bangsa Indonesia’ untuk merdeka dalam format negara, itulah mimpi untuk menjadi modern. Modernitas telah menjanjikan sebuah kehidupan yang lebih baik. Namun ketika sesudah 75 tahun Indonesia merdeka kehidupan yang lebih baik tidak kunjung terwujud, banyak orang mulai meragukan modernitas. Ekonomi tidak bisa dipercaya. Negara tidak bisa dipercaya. Sains tidak bisa dipercaya. Demokrasi tidak bisa dipercaya. Banyak orang mencari jawaban-jawaban alternatif yang dapat menjelaskan nasib maupun jawaban atas persoalan-persoalan kemanusiaan mereka. Tidak mengherankan jika banyak orang mulai tertarik (kembali) pada klenik, mistisisme, teori-teori konspirasi, pseudo-sains maupun fundamentalisme beragama yang dirasakan dapat memberi jawaban yang mengisi kekosongan yang selama ini gagal dijawab oleh modernitas. Ini harus kita lihat sebagai konsekuensi dari modernitas yang gagal.

5. Seberapa besar kebutuhan kita sebagai ‘society’ akan filsafat/sejarah? Atau mungkin, perlukah kita memetakan pendekatan seperti apa dalam konteks ilmu pengetahuan, yang bisa lebih menjawab tantangan masyarakat saat ini? Bagaimana kita menempatkan moral dalam konteks pendidikan?

Pandemi Covid-19 dan perubahan iklim menyadarkan kita bahwa bumi tidak selalu patuh pada kepentingan manusia. Bumi selama ini hanya dilihat sebagai faktor eksternal yang pasif. Manusia perlu disadarkan bahwa dia hanyalah merupakan satu komponen kecil dalam keseluruhan ekosistem bumi. Pandemi Covid-19 juga menunjukkan bahwa seluruh organisasi kehidupan manusia di bumi gagal mengatur hubungan yang setara antara manusia dengan sesamanya maupun manusia sebagai bagian dari ekosistem bumi. Ini membutuhkan sebuah perubahan radikal dalam pendidikan, dan juga membutuhkan sebuah pemikiran ulang bagaimana kita menempatkan moralitas dalam pendidikan yang selama ini bersifat anthroposentris dan dogmatik. Moralitas akan menjadi dogmatik bahkan subyektif jika tidak dibarengi dengan pengajaran etika. Etika membantu meletakan moralitas dalam konteks obyektif kehidupan bersama agar tidak terwujud menjadi sebuah penindasan.

silakan membaca artikel sebelumnya:
5 Pertanyaan Cobra versus Covid-19 Untuk Irma Hidayana (Lapor Covid-19)