PRIMA RUSDI NGOMONGIN #kamiskebioskop

- November 10, 2011 -

Oleh: Harlan Boer.

Hastag #kamiskebioskop mulai marak di Twitter. Ini adalah ajakan untuk menonton film Indonesia setiap hari pertama rilisnya, yaitu Kamis, yang sangat menentukan kelanjutan usia film tersebut bisa diputar di bisokop. Penulis skenario Prima Rusdi adalah salah satu profil kunci di balik gerakan ini. Eh, di awal dini hari, di jam kecil, Yahoo Messanger-nya masih nyala. Ini hasil wawancara bersama Prima yang lekas dan panjang lebar dalam menjawab.

Tepatnya momentum apa yang membuat lo terpikir dengan ide membuat gerakan #kamiskebioskop ini?

Sebetulnya bukan gw aja, kita di film termasuk yang bisa lihat langsung di lapangan. Maksudnya gini, kalau kita flashback awal 2000-an, Box Office pertama itu kan “Petualangan Sherina” di tahun 2001, nah, film seperti itu bisa membawa penonton kita balik lagi ke bioskop. Per sekarang, katakanlah tahun ini, film Indonesia banyak yang rilis bareng di waktu yang sama, tapi kita punya keterbatasan ruang putar. Ada film-film yang layak tonton tapi penonton nggak keburu nguber di bioskop, karena udah kadung turun. Usut punya usut, kita ngeliat ini ada kaitan dengan pemahaman soal kapan film rilis pertama kali di bioskop, yaitu hari Kamis. Jadi pertaruhan orang film, kalau serius mau bikin film adalah kita harus rendah hati dan terus terang ngajak penonton ke bioskop sejak hari pertama film diputar, ya di Kamis itu.

Sering yang terjadi gini misalnya, ulasan baru dipublikasikan di akhir Minggu s/d Senin. Lo bayangin kalau filmnya rilis udah dari hari Kamis? Yang ada, biarpun review-nya bagus, film yang mau ditonton udah kadung nggak beredar di bioskop, gitu. Nah, ini asli gerakan yang cair dan berdasarkan semangat orang per orang, kita tahu banget kalau di antara kita nggak saling dukung, maka ibarat kapal, kapal kita tenggelam bareng, hehehehe..

Setahu elo sejak kapan sistem distribusi film nasional di bioskop seperti itu, setiap hari Kamis?

Sebetulnya udah lama dan ini kan memang hak pengelola dan distributor film bioskop. Jadi, porsi kita cuma ngasih pemahaman penonton, bahwa kalau mereka nonton di hari Kamis, mereka udah ngasih dukungan langsung ke pembuat film, gitu. Sebagai contoh nih, gw dengar di Perancis, hari Rabu adalah hari di mana publik, terutama pelajar, dianjurkan nonton film Perancis. Nah, berarti kan wajar, tuh? Ada upaya pelibatan publik buat ngasih dukungan langsung ke produk budaya kayak film, secara ‘kodrat’ film kan emang diperuntukkan buat penonton..hehehe…

Di Indonesia, film nasional bisa bertahan kalau bisa mengumpulkan berapa banyak penonton dalam berapa hari, Prim?

Hmm..itu gw nggak jelas, tapi bisa gw verifikasi jadi bagian ini boleh lo tunggu data dulu, ya, Cuman gini, yang gw tahu, sekarang memang kita nggak punya kebijakan yang mengharuskan ada waktu putar minimal di bioskop, alias screen quota system, kebijakan screen quota system ada di negara-negara kayak Korea, Eropa, dll. Kasarnya ya, lagi-lagi, mekanisme dukungan yang lebih kuat kan kudu bentuknya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah… nah, kita nggak ada tuh.. Makanya, pilihannya harus dari kita sendiri yang tahu masalahnya, apa ancamannya, dan ujung-ujungnya kita juga yang harus usaha, kan? Secara udah milih mau jadi orang film gitu…wakakak…

Tapi intinya hype/jumlah penonton di hari-hari pertama tayang (Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu) sangat mempengaruhi keberlangsungan “jatah layar” hari tayang film di bioskop ya…

Sangat. Sementara banyak di antara kita punya kecenderunga menunda nonton. Paling sering tuh orang beralasan, gw nonton minggu depan! Nah…ini yang ngeri… dia nggak ngeh minggu depan itu kan berarti Kamis minggu berikutnya, bisa aja kalo film ngantri blom diputar, sementara film kita blom sempet ditonton, ya udah di-drop aja gitu..

Polanya juga ditentukan banget di minggu pertama. Artinya, kalo di minggu pertama (Kamis s/d weekend) penonton rame, itu berarti selamet ke minggu berikutnya. Gw nggak pernah tau ada film bisa survive, atau mendadak box office, kalo minggu pertama nggak berhasil. Grafiknya tuh idealnya naik terus gitu. Dan ada kecenderungan unik, misalnya gini, kalau ada 1 film Indonesia box office, film Indonesia yang rilis di waktu yang berdekatan ikut terangkat juga. Karena, secara mental, orang kalo ke bioskop pingin nonton film Indonesia, kalo dia nggak kebagian tiket film yang diincer, dia cenderung nonton film Indonesia juga.

Gw lebih mikirnya gini, kita buat sederhana aja, deh. Kita milih di bidang ini (film-red.), yang penting buat orang film kan bisa bikin film? Supaya bisa terus bikin, ya terima aja, bos kita tuh penonton. Mending kita balikin langsung ke penonton jadinya, kan? Maksud gw, kalo kita kerja di bidang seni/kreatif, kelihatannya tantangan terbesar buat kita adalah kembali mendekatkan diri sama publik. Bisa jadi justru mereka itu yang kita sempat lupa ajak ‘ngobrol’. Premiere itu harusnya syukuran, ngajak orang nonton di Kamis… naaah itu baru perjuangan sebenernya, wakakak.. lagi-lagi itu realita.

Iya, makanya gerakan #kamiskebioskop ini juga mengajak orang-orang yang bisa dan biasa nonton gratis di premiere untuk nonton film juga di hari pemutaran reguler untuk publik ya…

Iyalah, sejujurnya emang gitu. Sekarang gini deh, sekali bikin premiere di tiga studio, katakan kapasitas studionya 200 bangku, sewa 5 aja udah 1000 penonton yang ilang kan? Dan bukan soal premiere aja sebenernya, ini lucunya, kebanyakan dari kita, sebelum bikin film itu awalnya karena demen nonton, kan jadi lucu begitu jadi pembuat film kita malah lupa jadi penonton?

Respon teman-teman kreator gimana, Prim, dengan ajakan menonton film hari Kamis ke bioskop, yang juga bisa dirasakan juga ditujukan ke mereka…

Gw rasa, justru kalo kita mulai duduk lagi bareng penonton, kita bisa dapat input baru. Teman-teman tuh banyak banget yang langsung ngerespon positif. Sementara ini mereka masih mikir harus guyub rame-rame d bioskop yang sam, nggak pa pa, tapi ntar kudu disosialisikan, bioskopnya siy terserah, tapi tolong sampaikan juga ke temen lo, murid lo, tetangga lo, buat nonton hari Kamis. Per tadi aja, masih dong ada yang kumat semangat kumpulnya dengan nanya, ‘gw boleh ikutan ga?’…wakakakak… emang bioskop punya sape? Atau, ‘wah tengkyu udah diundang!’ Nah yang ini gw revisi dengan kirim Direct Message bilang, udah deh jangan salah info, ntar dipikir nonton gratis lagi..wakakakak… ini perjuangan periuk nasi niyyy wakakaka…baru ngeh, ‘anjrrritt iyaaa yaaa?’, gituu…

Kalo kita bicara Jakarta sebagai kota aja nih, katakanlah penduduknya 20 juta, 10 persennya ke bioskop tuh blom gede seharusnya, kan? 2 juta berarti. Tapi buat dapet penonton segitu aja, jangankan Jakarta, nasional aja susah banget. Korea Selatan penduduk 48 juta, box office mereka bisa ditonton 11 juta penduduk, alias 1:5, udah gitu mereka ngitung box office pake rasio, bukan angka lagi. Ini bagian missing link yang harusnya jadi pekerjaan rumah kita semua. Soalnya, kita kan tradisinya kuat banget? Coba deh, kesenian rakyat model wayang kulit, bisa survive nggak pake publikasi dari jadul, durasi per pertunjukan 6 jam, bos! Kenapa film nggak bisa? Ajaib kan? Nyebelin banget kalo orang luar mikir kita nggak punya tradisi pertunjukan atau tradisi cerita. Kita punya banget, orang cerita dari mulut ke mulut aja model legenda bisa ada terus dari generasi ke generasi. publikasinya apaan coba? Semua yang kita punya itu udah ada sebelum ada yang namanya media massa, lho…

Gue pikir di Indonesia ada tradisi menonton ke bioskop yang terputus, dan itu berawal dari ketidakpercayaan penonton terhadap kualitas atau apa pun bentuk film Indonesia yang diharapkan (atau melebihi harapan) penonton…

Kalo di akhir 80-an karena gebyar peraturan Deppen, trus jadinya pada bikin film seks. Nah, tapi kalo kita liat lagi waktu “Sherina”, ini lagi-algi kayak bukti juga bahwa ujung-ujungnya yang ngidupin film itu emang harus orang film sendiri. Biarpun tiap kali film mati, biasanya karena imbas soal kebijakan yang nggak pernah juntrung.

Yang lo bilang ada benarnya, tapi ada factor itu tadi, nggak ada kebijakan yang serius melindungi film sebagai produk budaya. Contoh, di luar negeri itu ada aturan film yang abis beredar di bioskop nggak boleh langsung ditayangin di televisi… Nah, kebijakan-kebijakan kayak gitu itu kan berdasarkan pemahaman soal kebiasaan/karakteristik publik/penonton. Di sini publiknya terus aja di atas namakan, karena pemerintah merasa bertindak atas nama publik. Buat gw, jadi penting supaya kita nggak kepancing berbuat hal yang sama; sok paham publik tapi enggak..

Sekarang kan gini nih situasinya, kita coba memetakan masalah udah, kita coba protes udah juga, sebaiknya kita coba jemput bola dengan ya itu tadi, ke penonton. Penonton alias publik juga udah capek dihimbau, cintailah produk Indonesia, cintailah film Indonesia, cintailah ini dan itu..wakakak…Buat gw, kalo gw mikir cara publik atau penonton, slogan-slogan kayak gitu siy nggak bakal nempel. Kalo kita betul-betul menghargai penonton, mendingan ngomong dengan lebih jelas. udah jelas kita perlu mereka, nah mereka mikir oke gw bantu, gimana caranya? Makanya terus keluar hash tag #kamiskebioskop itu.
Sempet gw lempar-lemparan sama beberapa kawan, nggak hanya di film tapi yang masih praktik di iklan. Awalnya ada ide #sinemakamisan, gw bilang jangan. Istilah kamisan itu kelewat sama dengan ‘aksi kamisan’ yang dilakukan ibu-ibu mahasiswa yang jadi korban peristiwa ’98. Gitu lho… makanya istilah kamisan itu di-drop..

Lebih jelas juga sih dengan nama #kamiskebioskop….

Teks #kamiskebioskop itu asli rame-rame lho

Pas penggodokannya sama siapa aja, Prim?

Ngegodok pertama tuh Kamis dua minggu yang lalu, di Salto gw tanya ke Ade Kusumaningrum. Terus, gw lempar ke Mandy Marahimin akhir minggu kemaren, karena gw nanya ke Ismet, blom dijawab… secara Ismet kan masih anak iklan tuh? Ya udah, awalnya ya oknum-oknum itu. Dan masih mau kita beresin strateginya, ke depannya gitu lho…Gw sounding ke ibu-ibu produser model Shanty, Mira, Lala Timothy. Tapi emang bukan hasil duduk bareng meeting serius. Dari data yang ada, problemnya apa, terus gw coba lah ngajak beberapa kawan mikirin satu kalimat aja yang paling bisa narik penonton, kayak kalo mo bikin tagline gitu.. karena gagasan besar siy semua temen film setuju.